Kamis, 02 Januari 2014

HAKIM AD HOC


                                                    HAKIM AD HOC
Istilah hakim karier dan nonkarier dapat ditemui antara lain dalam Pasal 6B UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 3/2009”) yang menyatakan:
1.      Calon hakim agung berasal dari hakim karier.
2.      Selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarier.
Kemudian, Penjelasan Pasal 6B UU 3/2009 menyebutkan:
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang berasal dari hakim karier” adalah calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier” adalah calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.
Jadi, istilah hakim karier  dan nonkarier dalam UU 3/2009 di atas digunakan dalam konteks calon hakim agung. Hakim karier digunakan untuk menunjuk calon hakim agung yang berasal dari dalam lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sedangkan, calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan termasuk calon hakim agung nonkarier.
Perbedaan lainnya antara hakim karier dan nonkarier dapat diketahui dari pengaturan Pasal 7 UU 3/2009 berikut:
Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B harus memenuhi syarat:
a. hakim karier;
  1. warga negara Indonesia;
  2. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
  3. berijazah magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum;
  4. berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun;
  5. mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban;
  6. berpengalaman paling sedikit 20 (dua puluh) tahun menjadi hakim, termasuk paling sedikit 3 (tiga) tahun menjadi hakim tinggi; dan
  7. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat melakukan pelanggaran kode etik dan/atau pedoman perilaku hakim.



b. nonkarier:
  1. memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1, angka 2, angka 4, dan angka 5;
  2. berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum paling sedikit 20 (dua puluh) tahun;
  3. berijazah doktor dan magister di bidang hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; dan
  4. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Perlu diketahui juga bahwa istilah hakim karier dan nonkarier ini hanya dikenal selama proses pencalonan hakim agung. Setelah calon hakim agung diangkat menjadi hakim agung, tidak lagi ada perbedaan kedudukan antara hakim agung yang berasal dari dalam lingkungan badan peradilan (jalur hakim karier), maupun yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan (jalur nonkarier).
Di sisi lain, dalam konteks yang berbeda, kita juga dapat menemui istilah hakim karier dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya, di antaranya dalam Pasal 1 angka 2 UU No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”) yang mendefinisikan:
Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi
Seperti di ketahui, di dalam UU Pengadilan Tipikor yang dimaksud dengan hakim adalah hakim karier dan hakim ad hoc (lihat Pasal 1 angka 1). Sedangkan, yang dimaksud dengan hakim ad hocadalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam UU Pengadilan Tipikor sebagai hakim tindak pidana korupsi (lihat Pasal 1 angka 3).
Dasar hukum:
1.              Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.14 Tahun  1985 tentang Mahkamah Agung;
2.              Undang-Undang No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (“UU Pengadilan HAM”) yang menjelaskan bahwa “Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan berada di lingkungan Pengadilan Umum” (Penjelasan Umum UU Pengadilan Ham).


Mengenai istilah ad hoc sendiri, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam artikel “Mahfud MD Minta UU Pengadilan Tipikor Direvisi” berpendapat bahwa, “ad hoc itu artinya sejak semua (semula, red) dimaksudkan sementara sampai terjadi situasi normal.” Pendapat Mahfud MD ini sejalan dengan pernyataan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqiedalam artikel “Hubungan Antara Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945” yang menyebutkan (hlm 8), “...ada pula lembaga-lembaga yang hanya bersifat ad hoc atau tidak permanen.
Berdasarkan penjelasan Mahfud MD dan Jimly Asshiddiqie tersebutdapat kita simpulkanbahwayang dimaksud dengan Pengadilan ad hoc adalah suatu pengadilan yang bersifat tidak permanen dan pembentukannya sejak semula dimaksudkan hanya untuk sementara waktu dan untukmenangani peristiwa tertentu.
Sedangkan istilah hakim ad hoc banyak dijumpai pada peraturan perundang-undangan. Diantaranya dalamPasal 1 angka 6 UU No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum disebutkan, “Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”
 Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”), yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 3A ayat (3)UU Peradilan Agama:
Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, danmemutus perkara, yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentudan dalam jangka waktu tertentu.
Dalam penjelasan Pasal 3A ayat (3) UUPeradilan Agama lebih jauh dijelaskan bahwa “Tujuan diangkatnya “hakim ad hoc” adalah untuk membantu penyelesaian perkara yangmembutuhkan keahlian khususmisalnya kejahatan perbankan syari’ah dan yang dimaksuddalam “jangka waktu tertentu” adalah bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan.
Sehingga, dari pengaturan-pengaturan di atas dapat disimpulkan istilah Hakim ad hoc adalah digunakan untuk menyebut seseorang yang diangkat menjadi hakim untuk jangka waktu tertentu yang sifatnyasementara.

Sifat sementara ini misalnya dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 33 ayat (5)UU Pengadilan HAMyang menentukan:
Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diangkat untuk satu kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun.

Pengaturan yang serupa juga kita temui dalam Pasal 10 ayat (5) UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi(“UU Pengadilan Tipikor”) bahwa Hakim ad hoc diangkat untuk masa jabatan selama 5(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Jadi, memang Hakim ad hoc hanya diangkat untukperiode waktu tertentu yang sifatnya sementara. Dalam UU Pengadilan HAM dan UU Pengadilan Tipikor sifat sementara ini dibatasi untuk periode waktu lima tahun. Lebih jauh berkaitan dengan istilah hakim ad hocini,simak juga artikel Pengertian Hakim Karier, Hakim Nonkarier, Dan Hakim Ad Hoc.


UTILITARIANISME



                                         UTILITARIANISME

         Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstrak dari filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang meletakan kemanfaatan di sini sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan di sini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
          Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happines for the greatest number of people).
          Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam Positivisme Hukum, mengigat paham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak,. Ini berarti hukum merupakan pencerminan pemerintah perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio saja.



1.      Jeremy Bentham (1748-1832)

Bentham berpendapat bahwa alam ini telah menempatkan manusia dalam kekuasaan kesusahan dan kesenangan. Karena kesenangan dan kesusahan itu kita memiliki gagasan- gagasan, semua pendapat dan semua ketentuan dalam hidup kita yang dipengaruhinya. Siapa yang berniat untuk membebaskan diri dari kekuasaan ini, tidak mengetahui apa yang ia katakana. Tujuannya hanyalah mencari kesenangan dan menghindari kesusahan.



2.      Jhon Stuart Mill (1806-1873)

            Pemikiran Mill banyak oleh pertimbangan psikologis, yang pada awalnya dikembangkan oleh ayahnya sendiri, James Mill. Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahgiaan. Manusia berusaha memperoleh kebahgiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan nafsunya. Jadi, yang ingin dicapai oleh manusia itu bukanlah benda atau sesuatu hal tertentu, melainkan kebahagiaan yang dapat di timbulkannya.

            Bagi Mill, psikologi itu justru merupakan ilmu yang paling fundamental. Psikologi mempelajari pengindraan-pengindraan (sensations) dan cara susunanya. Susunan pengindraan-pengindraan terjadi menurut asosiasi. Psikologi harus meperlihatkan bagaimana asosiasi pengindraan stu dengan pengindraan lain diadakan menurut hukum-hukum tetap. Itulah sebabnya psikologi merupakan dasar bagi semua ilmu lain, termasuk juga logika.

3.      Rudolf von jhering
            Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme individual, sedangkan rekannya Rudolf von Jhering (dalam beberapa buku tulis “lehering’) mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuart Mill, dan positivisme hukum dari Jhon Austin.
           Mula-mula von Jhering menganut mazhab sejarah yang di pelopori von Savigny dan Puncta, tetapi lama-kelamaan ia melepaskan diri, bahkan menentang padangan von Savigny tntang hukum Romawi. Perlu dikethui bahwa pemikiran yang gemilang dari Jhering memang timbul setelah dia melakukan studi yang mendalam tentang hukum romawi. Huijbers memasukkan Jhering sebagai salah satu tokoh penting positivisme hukum.

PERCOBAAN (POGING)

                                                         PERCOBAAN (POGING)
a. perlunya percobaan kejahatan dipidana:
Percobaan:
Ø Usaha hendak berbuat:
- orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai.
- Syaratnya perbuatan itu telah dimulai (bukan hanya sekedar niat semata)
Contoh: hendak menebang pohon (tujuannya adalah robohnya pohon tsb), orang itu telah mulai menebang 3 atau 4 kali.
Ø Melakukan sesuatu dalam keadaan diuji:
- Melakukan perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu.
Contoh: percobaan mengembangkan jenis udang laut, percobaan obat tertentu

Menurut Wirjono Projodikoro: percobaan (poging) berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.
Jonkers menyatakan: mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai.
Dalam UU tidak dijumpai adanya pengertian Percobaan. (Pasal 53 (1) KUHP hanya merumuskan syarat-syaratnya untuk dapat dipidananya bagi orang yang melakukan percobaan kejahatan.

Perlunya Percobaan Kejahatan dipidana adalah:
walaupun kejahatan itu tidak terselesaikan secara sempurna:
(1) pada orang yang mempunyai niat jahat untuk melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya (sudut subyektif);
(2) pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa permulaan pelaksanaan (sudut obyektif) dari suatu kejahatan;
dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi UU.
(AGAR NIAT JAHAT ORANG ITU TIDAK BERKEMBANG LEBIH JAUH)

Menurut Jonkers: mengancam pidana pada percobaan adalah bertujuan untuk pemberantasan kehendak yang jahat (niat) yang ternyata dalam perbuatan2.
Apabila tidak dirumuskan tersendiri dalam Pasal 53, maka si pembuat yang tidak menyelesaikan kejahatannya dengan sempurna tidak dapat dipidana. (dengan maksud membunuh laki2 yang dibenci karena berselingkuh dengan isterinya, dengan menabrak mobil tetapi tidak mati hanya luka berat)
b. apakah percobaan merupakan delik yang berdiri sendiri?
Percobaan bukanlah delik yang berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan bahwa percobaan diatur dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum. Sehingga apabila seseorang dipersalahkan melakukan suatu percobaan, haruslah dituduhkan pasal terhadap perbuatan yang dikehendaki.oleh karena pasal tersebut tidak terpenuhi seluruh unsurnya disebabkan oleh tidak selesainya perbuatan tersebut, maka pasal tentang percobaan merupakan pasal yang harus diikutsertakan dalam surat dakwaan. Dengan demikian membuktikan bahwa pasal tentang percobaan tidak mungkin didakwakan secara mandiri.
Kesimpulan:
Ø Percobaan bukan unsur tindak pidana
Ø Suatu delik yang tidak mempunyai bagian akhir.
Ø Percobaan bukan memperluas rumusan delik
Ø Percobaan bukan perluasan arti dari tindak pidana
Ø Percobaan bukan delik selesai (khusus dalam delik makar dirumuskan sebagai delik selesai dan beridiri sendiri, meskipun perbuatan yang dituju belum terlaksana).
Ø Perbedaan antara Makar dan Percobaan, terletak pada alasan tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki pelaku. Dalam Percobaan tidak selesainya perbuatan yang menjadi kehendak pelaku karena semata-mata di luar kehendak pelaku. Sedangkan dalam Makar tidak dipermasalahkan apakah tidak selesainya perbuatan tersebut karena kehendak sukarela pelaku atau di luar kehendak si pelaku.
Ø Tidak mungkin buku I KUHP didakwakan secara mandiri tanpa diikuti dengan kejahatan yang dikehendaki.
c. syarat dipidananya pembuat percobaan kejahatan
syaratnya adalah:
1. Adanya Niat (voornemen);
Beberapa sarjana menganggap bahwa niat dalam kaitannhya dengan percobaan tidak lain adalah sama dengan kesengajaan (baik kesengajaan sebagai maksud atau tujuan; kesengajaan sebagai kepastian; dan kesengajaan sebagai kemungkinan). Pendapat demikian dianut oleh D. Hazewinkel Suringa, Van Hamel, Van Hattum, Jonkers, dan Van Bemmelen.
Pada hekikatnya niat termasuk juga seluruh kegiatan dalam pikiran si pelaku. Termasuk rencana bagaimana kehendak itu akan dilaksanakan, akibat-akibat yang mungkin akan timbul. Misal: niat untukmelakukan pembunuhan dengan memberikan roti yangmengandung racun kepada seseorang, dalam hal ini termasuk juga kesadarannya bahwa kemungkinan seluruh penghuni akan menjadi korban. Kemungkinan orang lain menjadi korban termasuk pula apa yang disebut niat pada syarat percobaan.
Jadi untuk memberikan pengertian niat sangatlah sulit, karena untuk mengetahui niat seseorang sangat sulit diketahui, dan baru diketahui apabila orang tersebut telah mewujudkan dalam perbuatan pelaksanaan ataupun sudah ada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan tersebut.

2. Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering)
Dalam percobaan kejahatan terdapat dua ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subyektif dan ajaran obyektif, yang berbeda dalam memandang hal permulaan pelaksanaan:
1. ajaran subyektif: bertitik tolak dari niat (ukuran batin) si pembuat artinya bahwa patutnya dipidana terhadap pencoba kejahatan adalah terletak pada niat jahat orang itu yang dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi UU (membahayakan kepentingan hukum).
2. ajaran obyektif bertitik tolak dari wujud perbuatannya, artinya bahwa patut dipidananya terhadap pencoba kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi UU (membahayakan kepentingan hukum).
Berdasarkan kedua ajaran tersebut dapat dikatakan bahwa:
1. menurut ajaran subyektif ada permulaan pelaksanaan adalah apabila dari wujud perbuatan yang dilakukan telah nampak secara jelas niat atau kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana. Misal: orang yang tidak biasa berhubungan dengan senjata tajam, suatu hari tiba-tiba mengasah pedang, dari wujud mengasah pedang ini telah tampak adanya niat untuk melakukan kejahatan dengan pedang yang diasah tersebut (membunuh orang).
2. menurut ajaran obyektif adanya permulaan pelaksanaan apabila dari wujud perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud perbuatan ialah pada tindak pidana tertentu. Misal: seseorang dihadapan orang yang dibencinya telah mengokang pistolnya dengan mengarahkan moncongsenjata itu ke arah orang yang dibencinya. Perbuatan mengokang pistol dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan, sedangkan menarik pistol merupakan perbuatan pelaksanaan pembunuhan.

Ada tiga wujud perbuatan:
Terbentuknya Niat (kehendak)
1. perbuatan persiapan
2. permulaan pelaksanaan
3. perbuatan pelaksanaan —— menghasilkan tindak pidana selesai/tidak

Jadi kunci untuk menentukan apakah terjadi percobaan kejahatan ataukah belum, secara obyektif adalah pada perbuatan pelaksanaan (bukan pada permulaan pelaksanaan) hal ini dapat dilihat dari bunyi “tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” arti dan maksud pelaksanaan dalam kalimat itu adalah perbuatan pelaksanaan.
Contoh A hendak membunuh B
1. A pergi naik taksi menuju pasar
2. masuk ke sebuah toko
3. di toko itu A membeli pedang
4. A pulang ke rumahnya
5. A mengasah pedang hingga tajam
6. A menyimpan pedang di lemari
7. pada malam hari A dengan membawa pedang berjalan menuju rumah B
8. di depan rumah B A mengetuk pintu, dan dibukakan pintu oleh istri B, dan A dipersilahkan masuk, A masuk dan duduk di salah satu kursi.
9. ketika B masuk ke ruang tamu dan duduk di kursi A cepat mencabut pedang dibalik bajunya
10. A mengayunkan pedang ke arah leher B tapi mengenai bahu (istri B berteriak minta tolong dan tetangga berdatangan hendak menolong, A melarikan diri) dilihat dari lukanya tidak menyebabkan B meninggal.

Menurut ajaran subyektif:
Perbuatan membawa pedang yang telah diasah tajam dapat dinilai telah menunjukkan adanya niat untuk melakukan pembunuhan terhadap B, sebab pada perbuatan itu telah tampak adanya kehendak untuk membunuh. Pertimbangannya adalah:
1. A tidak biasa berhubungan dengan senjata tajam
2. A telah mengasah tajam pedang itu
3. tidak lazim malam hari membawa pedang yang sebelumnya telah diasah tajam menuju rumah orang yang telah dibencinya
perbuatan nomor 1-6 masuk perbuatan persiapan, sedangkan perbuatan menuju rumah B sudah masuk dalam permulaan pelaksanaan.