Rabu, 11 Desember 2013

Teori dan Hukum Perundang-undangan : Pengujian Peraturan dan Pengesahan Penetapan



Berdasarkan badan yang melakukan pengujian dibedakan antara:
  1. Pengujian oleh badan peradilan/judicial (judicial review)
  2. Pengujian oleh badan politik (political review)
  3. Pengujian oleh pejabat/badan administrasi (administrative review)
TOETSINGSRECHT, DIBEDAKAN ANTARA
  1. Formele Toetsingrecht (hak menguji formal)
Wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislative seperti undang-undang , terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagai mana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan
  1. Materiele Toetsingsrecht (hal menguji Material).
Wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangn isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajat nya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu
Makna pengujian
  1. Implementasi fungsi pengawasan agar materi suatu perundang-undangn tidak bertentangan atau berlawanan atau menyimpang dengan materi peraturan perundang-undangan di atasnya (derajatnya lebih tinggi)
  2. Fungsi check and balances, saling mengawasi agar terjadi kesimbangan antara satu badan dengan badan yang lain
  3. Sebagai bagian dari “The Guarantees of The constitution” guna melindungi keaslian maksud/makna UUD, karena kecenderungan UUD dilaksanakan dengan aturan yang menyimpang.
  4. Melindungi agar UUD tetap sebagai “The Supreme Law of The Land”
Badan penguji peraturan Perundang-undangan
Sesudah UUD 1945 Diamandemen ada dua badan yang diberi kewenangan menguji, yaitu:
  1. Mahkamah agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU
  2. Mahkamah konstitusi berwenang menguji UU terhadap UU dasar
Dasar hukum Kewenangan MA melakukan Hak menguji Material
  1. UU No 14 tahun 1970, pasal 26
  2. Ketetapan MPR No vi/MPR/1973 pasal 11 ayat 4
  3. Ketetapan MPR no III/MPR/1978
  4. UU No 14 Tahun 1985 Pasal 31
  5. UU Dasar 1945 amandemen ketiga pasal 24A
Dasar hukum kewenangan mahkamah konstitusi melakukan Hak menguji material UU
  1. UU dasar 1945 amandemen ketiga pasal 24C ayat 1
  2. UU no 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, pasal 50 s/d 60
Pengesahan dan Penetapan
  1. Pengesahan
Dilakukan terhadap RUU yang sudah dibahas dan disetujui bersama antara DPR dan Presiden (pemerintah). Istilah yang dipakai adalah “disahkan”
  1. Penetapan
Dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan selain UU baik peraturan Per UU tingkat pusat maupun tingkat daerah. Istilah yang digunakan “DITETAPKAN”
  1. Suatu peraturan perundang-undangan sebelum dinyatakan berlaku secara hukum harus mempunyai keabsahan . suatu Undang-Undang adalah sah apabila dibentuk atas kerja sama antara dewan perwakilan rakyat dan presiden

Lembaga yang ditugasi melakukan pengundangan
  1. Sekretaris Negara
  2. Menteri kehakiman (sekretaris menteri hukum dan ham)
  3. Sekretaris daerah (untuk perda, peraturan kepala daerah, dan keputusan kepala daerah)
Fungsi pengundangan
  • Sebagai syarat tunggal agar peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai kekuatan mengikat
  • Agar peraturan perUU tersebut diketahui dan dipahami oleh masyarakat, karena peraturan perUU ditujukan kepada masyarakat (naar buiten werkende voorschriften)
  • Sebagai pemenuhan dalam rangka fiksi hukum, yaitu bahwa setiap orang dianggap telah mengetahui dan wajib mentaati suatu peraturan perUU apabila telah diundangkan
  • Adagium “eider een wordt geacht de wet te kennen”
Penyebarluasan
  • Penyebarluasan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah yaitu yang telah diundangkan dalam lembaran Negara, berita Negara, lembaran daerah , dan berita daerah
  • Penyebarluasan peraturan perundang-undangan , baik tingkat pusat maupun tingkat daerah, dilakukan melalui
1.      Media elektronik /televise (khusunya TVRI)
2.      Radio (khusunya RRi)
3.      Media cetak (khusunya surat kabar)

Rabu, 13 November 2013

Etika dan Sikap Hakim ad Hoc Pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Kekuasaan Kehakiman.



Pengertian hakim ad hoc adalah suatu pembentukan untuk tujuan khusus. Jadi dapat dikatakan bahwa hakim ad hoc adalah hakim, berasal dari luar pengalaman yang mempunyai pengalaman dan spesialisasi pengetahuan dalam bidanhg tertentu, yang direkrut secara khusus untuk tujuan tertentu, dalam menangani perkara tertentu.
Pada pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 yang baru disebutkan bahwa:
“hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”.
Keberadaan hakim ad hoc dalam mengadili dan memeriksa kasus korupsi yang hanya terdapat pada Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menurut Luhut M. P. Pangaribuan sejarah hakim ad hoc pada dasarnya karena faktor kebutuhan akan keahlian dan efektifitas pemeriksaan perkara di Pengadilan Khusus itu. Dalam konsideransi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi butir b disebutkan “bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi”. Pemeriksaan baik di Tingakt Banding maupun Kasasi dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri dari 2 hakim karir dan 3 hakim ad hoc. Maka latar belakang masuknya hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena rendahnya faktor kredibilitas lembaga yang mengadili perkara korupsi sebelumnya.
Hakim ad hoc diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim ad hoc hanya memperoleh tunjangan fungsional setiap bulan dan uang sidang selama menjalani tugas sebagai hakim adhoc pengadilan tipikor. Hakim ad hoc diadakan dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai kedudukan yang sama dengan hakim karir dalam mengadili suatu perkara korupsi. Komposisi hakim ad hoc dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan pasal 26 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 155 bahwa berjumlah haki harus ganjil minimal 3 orang bersama hakim karir duduk bersama untuk mengadili perkara pidana yang merupakan wewenangnya.
Dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang terdiri dari hakim karir dan hakim ad hoc. Pengangkatan hakim karir sama dengan hakim pada umumnya yang diangkat dan diberhentikan sesuai dengan Undang-Undang oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pada pengangkatan Hakim ad hoc yang dipilih dari lingkungan wilayah masyarakat karena untuk mengembalikan citra peradilan dimata masyarakat sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat melalui pemilihan hakim yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usulan Mahkamah Agung. Keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya, sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi.
Keberadaan hakim ad hoc di Penagdilan Indonesia pertama kali dipelopori oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Alasan terbentuknya hakim ad hoc pada pengadilan khusus pidana yaitu meruapak bentuk partisipasi masyarakat untuk duduk bersama-sama hakim karir dalam memutus suatu perkara tertentu demi menegakkan suatu keadilan di dalam suatu pengadilan. Pada pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 bahwa hakim ad hoc yang menguasai pengetahuan dibidang masalah-masalah lingkup kewenangan Pengadilan diangkat oleh Presiden atas dasra usulan dari Ketua Mahkamah Agung. Selain memiliki dedikasi keahlian dibidang-bidang tertentu seorang hakim ad hoc harus berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik, serta telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim. Istilah hakim ad hoc sudah dikenal bangsa Indonesia sejak zaman kolonial dengan istilah Lid Landraad. Hakim ad hoc dibentuk karena perlunya keahian dibidang tertentu dalam mejelis hakim ketika mengadili perkara. Hakim ini merupakan anggota masyarakat yang ikut serta duduk bersama-sama dengan hakim karir untuk mengadili suatu perkara di Pengadilan Pidana. Pada zaman kolonial hakim ad hoc dipakai selain untuk mengadili perkara pidana juga untuk mengadili suatu perkara di Pengadilan Khusus yang berhubungan dengan pajak yaitu “ raad van boroep voor balastingzaken”. Dengan susunan 3 hakim yaitu satu orang sebagai hakim “Hoogerechtshof” dan dua orang hakimberasal dari luar pengadilan atas usulan dari “kamer va koophandel en nijverheid” yang sekarang lebih dikenal dengan istilah kamar dagang dan industri (Kadin). Saat ini Pengadilan pajak sudah masuk pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara sehingga keberadaab mengenai hakim ad hoc juga mengikuti aturan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hakim ad hoc pertama dibentuk pada Pengadilan Tata Usaha Negara pada tahun 1986 yang kemudian diikuti dalam Pengadilan Umum yaitu dalam pengadilan-pengadilan khususnya seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dan pada Pengadilan Perikanan.
Pengangkatan hakim ad hoc melalui serangkaian proses penyeleksian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam melakukan penyeleksian dengan cara memberi pengumuman kepada masyarakat melalui media komunikasi agar masyarakat diberi kesemapatan untuk ikut dalam pendaftaran sebagai hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidan Korupsi (TIPIKOR). Hakim ad hoc sebagai anggota majelis dalam peradilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR) direkrut secara khusus dari masyarakat sehingga tidak merasa terikat dan terpengaruh dengan administrasi kepegawaian. Kewenangan untuk menguji dan menyeleksi calon hakim ad hoc berada di tangan mahkamah agung karena pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR) Berada di lingkungan peradilan umum yang kedudukan di bawah mahkamah agung. 
Berdasarkan pasal 10 ayat (5) Undang-Undang nomor 46 tahun 2009 bahwa hakim ad hoc diangkat untuk jangka waktu 5(lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk 1(satu) kali masa jabatan. Hakim ad hoc hanya memperoleh tunjangan fungsional setiap bulan dan uang sidang selama menjalani tugas sebagai hakim ad hoc pengadilan tipikor. Hakim ad hoc diadakan dalam pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR) yang mempunyai kedudukan yang sama dengan hakim karir dalam mengadili suatu perkara korupsi. Komposisi hakim dalam pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR) berjumlah 3 orang atau sebanyak-banyak ada 5 orang yang terdiri dari hakim ad hoc duduk bersama untuk mengadili perkara pidana yang merupakan wewenangnya.
Menurut pasal 12 Undang-Undang No.46 Tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR) terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi oleh calon hakim ad hoc :
a.       Merupakan warga Negara Indonesia;
b.      Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.       Sehat jasmani dan rohani;
d.      Berpendidikan sarjan hukum atau sarjana lain sesuai dengan keahlian dan berpengalaman dibidang hukum minimal 15 tahun;
e.       Berumur minimal 40 tahun pada saat proses pemilihan hakim;
f.       Tidak pernah dipidana karena kejahatan;
g.      Jujur, cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi dan mempunyai reputasi yang baik;
h.      Tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i.        Melaporkan harta kekayaannya;
j.        Bila terpilih bersedia untuk mengikuti pelatihan sebagai hakim;
k.      Selama menjadi hakim bersedia untuk melepaskan jabatan struktural dan atau/ jabatan lain;
Setelah proses seleksi selesai Presiden berhak untuk mengangkat dan memberhentikan hakim ad hoc atas rekomendasi dari Mahkamah Agung atau menurut ketentuan perundang-undangan, misalnya berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi :
a.       Atas permintaan sendiri;
b.      Karena sakit jasmaniatau rohani selama 3 (tiga) bulan berturut-turut sesuai keterangan dokter;
c.       Terbukti tidak cakap dalam menjalankan tugas;
d.      Pensiun;
e.       Telah menyelesaikan masa jabatan sebagai hakim ad hoc;
Implikasi Keberadaan Hakim Ad Hoc Dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Implikasi terhadap sistem kekuasaan kehakiman
Sebelum amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disahkan pada 10 November 2001 dalam penjelasan umum disebutkan bahwa Indonesia merupakan Negara berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka, serta sistem konstitusional tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak terbatas). Dengan adanya hukum pada suatu negara akan memberikan dampak perilaku masyarakat untuk dapat patuh pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah. Aturan-aturan tersebut akan membatasi tingkah laku manusia dalam bergaul di masyarakat. Dengan adanya aturan tersebut diharapkan masyarakat dapat hidup lebih harmonis tanpa ada rasa was-was akan adanya gangguan dari orang lain. Tapi tidak ada manusia maupun aturan hukum yang sempurna di dunia ini, walaupun pemerintah sudah berusaha membuat aturan hukum dengan sebaik mungkin tetapi manusia sering melanggar aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu banyak terjadi permasalahan dan kekacauan di lingkungan masyarakat. Untuk menangai permasalahan tersebut pemerintah membuat suatu lembaga peradilan yang berfungsi untuk memeriksa, mengadili, suatu perkara yang ditimbulkan oleh masyarakat, instansi-instansi tertentu maupun pemerintah sendiri.
Lembaga peradilan yang diharapkan dapat memberikan keadilan pada masyarakat atas pelanggaran hak-hak mereka tidak luput dari masalah. Dewasa ini lembaga peradilan menjadi sorotan oleh masyarakat khususnya pada lembaga peradilan pidana korupsi. Peradilan pidana yang berwenang untuk mengadili perkara pidana korupsi adalah Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Saat ini Pengadilana Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) di Indonesia berkedudukan di Jakarta Pusat. Seiring dengan berjalannya waktu pemerintah mengusahakan untuk mendirikan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) di setiap daerah di Indonesia seperti yang sudah ditetapkan pada Pasal 3, 4 dan 35 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidan Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155.
Pasal 3 :
pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”.
Pasal 4 :
khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”.
Pasal 35 :
1.      Dengan Undang-Undang ini untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada setiap pengadilan negeri di Ibukota Provinsi.
2.      Daerah hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi daerah hukum Provinsi yang bersangkutan.
3.      Khusu untak Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4.      Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dibentuk paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pentingnya keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di lingkungan peradilan umum karena perkara korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak dijelaskan di dalam KUHP. Oleh karena itu perlu adanya undang-undang tersendiri yang mengatur dan menjelaskan permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi di Indonesia masih merupakan permasalahan yang sangat serius sampai sekarang ini, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas perilaku korupsi berkembang mulai dari tradisional maupun yang paling canggih tehnologinya. Sedangkan secara kuantitasnya, korupsi sudah semakin menjalar ke lapisan masyarakat dan berlangsung di berbagai lembaga negara, baik di tingkat daerah maupun pusat, termasuk lembaga negara penegak hukum yang seharusnya bertanggung jawab untuk memberantas korupsi.
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu adanya legalitas yang didasarkan pada :
a.       Upaya mewujudkan hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan, sesuai dengan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan sebagai upaya untuk mewujudkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat indonesia. Ketentuan demikian menjadi landasan dasar dalam pembentukan semua pengadilan di Indonesia.
b.      Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar system hukum dan peradilan seperti :
1)      Due process of law, non retroactive, nebis in idem, praduga tak bersalah, dan prinsip dasar lainnya.
2)      Prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang independen baik yang diatur dalam instrumen internasional maupun Udang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
c.       Sebagai bagian dari sistem hukum, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat dibentuk untuk memenuhi kebutuhan adanya kepastian hukum untuk mendukung sistem hukum lainnya.
d.      Keselarasan dengan arah dan desain pembaharuan hukum dan peradilan dibawah Mahkamah Agung. Bila keselarasan tidak ada maka Pendadilan Tindak Pidan Korupsi akan berjalan diluar sistem sehingga efektifitasnya akan diragukan.
e.       Hasil kajian yang komprehensif terhadap tingkat kebutuhan-kebutuhan diatas dengan melibatkan berbagai pihak termasuk Mahkamah Agung dan masyarakat.
Dengan landasan konstitusi yang kuat maka aspek penting yang berkaitan lainnya adalah peran hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selain hakum karir di dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdapat hakim ad hoc yang terdiri dari unsur masyarakat. Keberadaan hakim ad hoc diharapkan mampu membantu hakim karir untuk memberantas tindak pidana korupsi dikalangan masyarakat dan lembaga instansi pemerintah.
Oleh karen itu implikasi hakim ad hoc terhadap kekuasaan kehakiman adalah untuk memperkuat pern dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum di Indonesi. Dalam hal ini hakim ad hoc merupakan hakim non karir yang mempunyai keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara korupsi sehingga hakim ad hoc dapat memberi dapak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karir menangani perkara korupsi dalam hal ini berbeda ketika tindak pidana korupsi hanya diadili oleh hakim karir saja.

Implikasi terhadap sistem pembentukan hukum
Pengaturan mengenai tindak pidana korupsi sekarang ini masih menjkadi wacana pemerintah maupun didalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (tambahan Lembaran Negara republik Indonesia No. 4150) sudah dijelaskan mengenai tindak pidana korupsi namun belum dijelaskan secara terperinci sedangkan perkembangan tindak pidana korupsi sudah semakin pesat. Sehingga ketika menjalankan proses pemeriksaan dan memutus perkara korupsi di persidangan, selain hakim berpedoman pada konstitusi dan undang-undang terkait dengan tindak pidana korupsi, seorang hakim juga menggunakan pengetahuannya untuk menafsirkan suatu permasalahan berdasarkan hati nuraninya untuk menyelesaikan perkara dengan membuat aturan sendiri sehingga dapat diberikan keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni mencapai kepastian hukum.
Pada Undang-undang Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai penjelasan hakim ad hoc, ini juga menjadi salah satu upaya reformasi konstitusi. Pembentukan hukum mengenai hakim ad hoc selain sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah mengakar pada kehidupan masyarakat juga sebagai partisipasi masyarakat Indonesia dalam sistem peradilan. Upaya pembentukan hukum mengenai hakim ad hoc pada Kekuasaan Kehakiman juga dijelaskan mengenai sistem perekrutan yang bersifat terbuka. Di sini selain masyarakat bisa ikut berpartisipasi mengikuti ujian yang diadakan oleh tim penyeleksi, masyarakat juga bisa ikut mengawasi jalannya praktek pengujian hakim ad hoc secara transparan. Seperti yang dijelaskan pada pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155, yaitu :
untuk memilih dan mengusulkan calon hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Pengadilan tinggi, ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi yang terdiri adri unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya bersifat mandiri dan transparan”.
Penjelasan mengenai hakim ad hoc tidak hanya di tulis di dalam pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157 saja melainkan juga dimasukan di dalam penjelasan pasal 10 Undang-Undang nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155, serta pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, yaitu :
Pasal 23 ayat (1) :
hakim ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu dalam jangka waktu tertentu”.
Pasal 10 :
dalam memeriksa., Mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tersiri atas hakim karir dan hakim ad hoc”.
Pasal 56 ayat (1) :
hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc”.
Pada sistem peradilan, hakim ad hoc dalam menjalankan perannya sebagai hakim didalam Pengadilan mempunyai hak dan kewenangan yang sama dengan hakim karir. Dalam proses pemeriksaan di pengadilan hakim ad hoc diberi hak untuk mengutarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan. Sehingga hakim ad hoc juga berperan penting ketika proses pemberian putusan terhadap suatu perkara tertentu di dalam pengadilan. Dalam proses mengadili suatu perkarakorupsi hakim ad hoc bersama-sama hakim karir juga mengalami ketidaksinkronan pendapat dalam pemberian suatu putusan. Hakim ad hoc cenderung menghukum dengan hukuman paling berat. Hal ini hakim karir yang berbeda pendapatnya dengan hakim ad hoc menulis dalam dissentting opinion dia mengungkapkan bahwa hakim adalah tangan keadilan, bukan algojo bagi sekedar nafsu menghukum, tangan keadilan hakim bukan saja untuk memuaskan khalayak ramai, tau korban tetapi juga keadilan untuk pelaku dan keluarganya. Ketika hakim ad hoc bersama-sama dengan hakim karir menjalankan tugasnya untuk memberi putusan atas suatu perkara terjadi perbedaan pendapat dalam musyawarah hakim yang bersifat tertutup dengan memakai sistem voting. Maka berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, yaitu :
1.      Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
2.      Dalam sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
3.      Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
4.      Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu implikasi terhadap pembentukan hukum atas keberadaan hakim ad hoc di dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah hakim ad hoc bersama hakim karir berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disngkat A.B Staatsblad 1847 No. 23 yang dikeluarkan pada 30 april 1847 diartikan sebagai ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan yang menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap maka ia dapat untuk dituntut dan dihukum karena menolak untuk mengadili. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal-pasal ini apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan perkara, maka hakim ad hoc bersama hakim karir mempunyai hak untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi.
Implikasi Terhadap Penegakkan Hukum
Kedudukan hakim dalam proses peradilan mempunyai peran yang sangat penting dimana hakim ketua bersama anggota majelis lainnya berdasarkan pasal 1 butir 9 KUHAP mempunyai kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarka asa bebas, jujur dan memihak di sidang pengadilan sesuai dengan cara-cara yang sudah diatur dalam perundang-undangan tidak terkecuali dengan hakim ad hoc pada pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Proses pemeriksaan perkara dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) kedudukan hakim karir dengan hakim ad hoc adalah sejajar yaitu sama-sama mempunyai kewenangan untuk melakukan tugas-tugasnya sebagai hakim yang membedakan hakim karir dengan hakim ad hoc. Hakim karir pengadilan tindak pidana korupsi harus berpendidikan sarjana hukum, pengalaman menjadi hakim minimal 10 tahun dan diangkat serta diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung sedangkan hakim ad hoc berdasarkan keahlian tertentu untuk mengadili suatu perkara korupsi. Untuk dapat menjadi hakim ad hoc tidak harus berpendidikan sarjana hukum melainkan boleh berpendidikan sarjana lainnya dan berpengalaman dibidang hukum selama minimal 15 tahun.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155) bahwa penentuan jumlah dan komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi ditetapkan oleh Ketua Pengadilan masing-masing atau ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan kepentingan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Ini tidak mentup kemungkinan bahwa hakim ad hoc bisa menjadi hakim ketua dalam proses persidangan. Akan tetapi melihat bahwa yang menetapkan jumlah dan komposisi hakim dalam mengadili perkara korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) adala hakim ketua yang tidak lain sebagai hakim karir maka akan ada kecenderungan bahwa pengangkatan seorang hakim ketua berasal dari hakim karir sehingga mengakibatkan adanya diskriminasi dikalangan hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Ketika hakim ad hoc terbentuk pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) timbul wacana mengenai peran hakim ad hoc. Dimana nama hakim ad hoc diangkat berdasarkan keahlian yang dianggap ilmu dan pengetahuannya sama dengan alat bukti yang berupa keterangan ahli. Alat bukti berupa keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang sah di pengadilan (pasal 184 KUHAP). Akan tetapi kekuatan pembuktiannya bebas sehingga hakim di pengadilan tidak terikat denga alat bukti keterangan ahli. Sehingga bahwa alat bukti berupa keterangan ahli berbeda dengan hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena kedudukan dari alat bukti berupa keterangan saksi ahli didalam pengadilan hanya sebatas memberikan penjelasan berdasarkan pengetahuan atau keahlian di bidang tertentu sesuai dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) selain memiliki keahlian tertentu dia juga memiliki kewenangan bersama-sama dengan hakim karir untuk memeriksa dan memberi putusan atas kasus yang sedang mereka tangani. Untuk menguatktan posisi hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam mendapatkan keadilan dimana hakim dalam pengadilan terdiri dari unsur masyarakat dan hakim yang diangkat oleh Mahkamah Agung diperlukan adanya sumpah atau janji yang hubungannya langsung dengan tuhan. Hakim sebagai pejabat negara harus disumpah dahulu sebelum menjalankan kewenangannya. Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 dijelaskan mengenai sumpah jabatan.
Untuk menjadi hakim ad hoc tidak hanya cukup dengan bersumpah dihadapan Tuhan melainkan juga harus mau mengikuti pelatihan-pelatihan agar hakim ad hoc memiliki kecakapan dama mengadili suatu perkara korupsi. Menurut Igm. Nurdjana bahwa hakim dalam Pengadilan tindak pidana korupsi wajib menerapkan prinsip Fairness yaitu dengan menunjukkan proses pengadilan yang transparan dan terbuka untuk umum, dan putusannya dilakukan pada sidang terbuka untuk umum. Begitu pula pada penerapan hak ingkar yaitu hak untuk mengajukan keberatan terhadap hakim yang mengadili perkara tersebut. Serta hak-hak tersangak atau terdakwa untuk didampingi oleh penasehat hukum kemudian hakim wajib memeriksa dan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa, atau kecuali pengadilan tersebut dinyatakan sebagai pengadilan in absentia. Berdasarkan Pasl 41 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Neagar Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) menjelaskan keikutsertaan masyarakat dalam upaya penegakkan hhukum terhadap tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dengan adanya keikutsertaan masyarakat memberikan peran sosila terhadap penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi, bahkan dalam jangkauan lebih luas akan menciptakan good government.
Salah satu contoh perkara yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai bentuk upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah perkara Anggodo. Anggodo diperiksa atas dakwaan penyuapan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang bertujuan untuk menghalang-halangi penyelidikan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 mengenai Pengadilan Tindak pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155 bahwa proses peradilan Anggodo Widjojo dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berkedudukan di Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Tiga (3) orang hakim yang terdiri dari hakim ad hoc dan hakim karir. Di sini hakim karir dan hakim ad hoc bekerja sama dan saling membantu untuk proses perkara Anggodo. Berdasarkan pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diputuskan bahwa majelis kemudian sepakat memvonis Anggodo dengan Hukuman empat (4) tahun penjara. Dan Anggodo juga diharuskan membayar denda Rp. 150.000.000,00 jika tidak dibayar maka hukumannya ditambah tiga bulan penjara. Berdasarkan putusan hakim diatas masyarakat merasa tidak puas dikarenakan hukuman penjara yang dijatuhkan kepada Anggodo Widjojo masih sangat ringan dan tidak sebanding dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh Anggodo Widjojo yang merugikan negara. Ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Belum terbentuk, kasus-kasus mengenai korupsi masih banyak yang diputus bebas, setidaknya dengan keberadaan hakim ad hoc membantu penegakkan hukum di Indonesia untuk mendapatkan suatu keadilan.
Berdasarkan penjelasan diatas maka etika dan implikasi penegakkan hukum terhadap lahirnya hakim ad hoc adalah dengan adanya hakim ad hoc maka penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi semakin menemukan titik terang karena tindak pidana korupsi merupaka salah satu tindak pidana yang bersifat Khusus (extra ordinary crime) sehingga dalam mengadili tindak pidana korupsi memerlukan adanya suatu pengadilan khusus pula dimana ketika memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara korupsi terdapa dua unsur hakim yaitu hakim karir dan hakim ad hoc. Sehingga dengan adanya hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akam memberi dampak positif dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat indonesia