Pengertian hakim ad hoc adalah suatu pembentukan untuk tujuan
khusus. Jadi dapat dikatakan bahwa hakim ad hoc adalah hakim, berasal dari luar
pengalaman yang mempunyai pengalaman dan spesialisasi pengetahuan dalam bidanhg
tertentu, yang direkrut secara khusus untuk tujuan tertentu, dalam menangani
perkara tertentu.
Pada pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157
yang baru disebutkan bahwa:
“hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman dibidang tertentu untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”.
Keberadaan hakim ad hoc dalam mengadili dan memeriksa kasus korupsi
yang hanya terdapat pada Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menurut Luhut
M. P. Pangaribuan sejarah hakim ad hoc pada dasarnya karena faktor kebutuhan
akan keahlian dan efektifitas pemeriksaan perkara di Pengadilan Khusus itu.
Dalam konsideransi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi butir b
disebutkan “bahwa lembaga pemerintahan yang menangani perkara tindak pidana
korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas korupsi”.
Pemeriksaan baik di Tingakt Banding maupun Kasasi dilakukan oleh majelis hakim
yang terdiri dari 2 hakim karir dan 3 hakim ad hoc. Maka latar belakang
masuknya hakim ad hoc di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena rendahnya
faktor kredibilitas lembaga yang mengadili perkara korupsi sebelumnya.
Hakim ad hoc diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Hakim ad hoc hanya memperoleh
tunjangan fungsional setiap bulan dan uang sidang selama menjalani tugas
sebagai hakim adhoc pengadilan tipikor. Hakim ad hoc diadakan dalam Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi yang mempunyai kedudukan yang sama dengan hakim karir
dalam mengadili suatu perkara korupsi. Komposisi hakim ad hoc dalam Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berdasarkan pasal 26 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Lembaran negara Republik Indonesia
Tahun 2009 nomor 155 bahwa berjumlah haki harus ganjil minimal 3 orang bersama
hakim karir duduk bersama untuk mengadili perkara pidana yang merupakan
wewenangnya.
Dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi diatur mengenai Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang
terdiri dari hakim karir dan hakim ad hoc. Pengangkatan hakim karir sama dengan
hakim pada umumnya yang diangkat dan diberhentikan sesuai dengan Undang-Undang
oleh Mahkamah Agung. Sedangkan pada pengangkatan Hakim ad hoc yang dipilih dari
lingkungan wilayah masyarakat karena untuk mengembalikan citra peradilan dimata
masyarakat sehingga dibutuhkan peran serta masyarakat melalui pemilihan hakim
yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usulan Mahkamah Agung.
Keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya, sejalan dengan kompleksitas
perkara tindak pidana korupsi.
Keberadaan hakim ad hoc di Penagdilan Indonesia pertama kali
dipelopori oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Alasan terbentuknya hakim
ad hoc pada pengadilan khusus pidana yaitu meruapak bentuk partisipasi masyarakat
untuk duduk bersama-sama hakim karir dalam memutus suatu perkara tertentu demi
menegakkan suatu keadilan di dalam suatu pengadilan. Pada pasal 1 Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2002 bahwa hakim ad hoc yang menguasai pengetahuan
dibidang masalah-masalah lingkup kewenangan Pengadilan diangkat oleh Presiden
atas dasra usulan dari Ketua Mahkamah Agung. Selain memiliki dedikasi keahlian
dibidang-bidang tertentu seorang hakim ad hoc harus berwibawa, jujur, adil dan
berkelakuan baik, serta telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus
sebagai hakim. Istilah hakim ad hoc sudah dikenal bangsa Indonesia sejak zaman
kolonial dengan istilah Lid Landraad. Hakim ad hoc dibentuk karena perlunya
keahian dibidang tertentu dalam mejelis hakim ketika mengadili perkara. Hakim
ini merupakan anggota masyarakat yang ikut serta duduk bersama-sama dengan
hakim karir untuk mengadili suatu perkara di Pengadilan Pidana. Pada zaman
kolonial hakim ad hoc dipakai selain untuk mengadili perkara pidana juga untuk
mengadili suatu perkara di Pengadilan Khusus yang berhubungan dengan pajak
yaitu “ raad van boroep voor balastingzaken”. Dengan susunan 3 hakim yaitu satu
orang sebagai hakim “Hoogerechtshof” dan dua orang hakimberasal dari luar
pengadilan atas usulan dari “kamer va koophandel en nijverheid” yang sekarang
lebih dikenal dengan istilah kamar dagang dan industri (Kadin). Saat ini
Pengadilan pajak sudah masuk pada lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
sehingga keberadaab mengenai hakim ad hoc juga mengikuti aturan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Hakim ad hoc pertama dibentuk pada Pengadilan Tata Usaha
Negara pada tahun 1986 yang kemudian diikuti dalam Pengadilan Umum yaitu dalam
pengadilan-pengadilan khususnya seperti Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM), Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dan pada Pengadilan
Perikanan.
Pengangkatan hakim ad hoc melalui serangkaian proses penyeleksian
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam melakukan penyeleksian dengan cara
memberi pengumuman kepada masyarakat melalui media komunikasi agar masyarakat
diberi kesemapatan untuk ikut dalam pendaftaran sebagai hakim ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidan Korupsi (TIPIKOR). Hakim ad hoc sebagai anggota majelis
dalam peradilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR) direkrut secara khusus dari
masyarakat sehingga tidak merasa terikat dan terpengaruh dengan administrasi
kepegawaian. Kewenangan untuk menguji dan menyeleksi calon hakim ad hoc berada
di tangan mahkamah agung karena pengadilan tindak pidana korupsi (TIPIKOR)
Berada di lingkungan peradilan umum yang kedudukan di bawah mahkamah
agung.
Berdasarkan pasal 10 ayat (5) Undang-Undang nomor 46 tahun 2009
bahwa hakim ad hoc diangkat untuk jangka waktu 5(lima) tahun dan dapat
diperpanjang untuk 1(satu) kali masa jabatan. Hakim ad hoc hanya memperoleh
tunjangan fungsional setiap bulan dan uang sidang selama menjalani tugas
sebagai hakim ad hoc pengadilan tipikor. Hakim ad hoc diadakan dalam pengadilan
tindak pidana korupsi (TIPIKOR) yang mempunyai kedudukan yang sama dengan hakim
karir dalam mengadili suatu perkara korupsi. Komposisi hakim dalam pengadilan
tindak pidana korupsi (TIPIKOR) berjumlah 3 orang atau sebanyak-banyak ada 5
orang yang terdiri dari hakim ad hoc duduk bersama untuk mengadili perkara
pidana yang merupakan wewenangnya.
Menurut pasal 12 Undang-Undang No.46 Tahun 2009 tentang pengadilan
tindak pidana korupsi (TIPIKOR) terdapat syarat-syarat yang harus terpenuhi
oleh calon hakim ad hoc :
a.
Merupakan
warga Negara Indonesia;
b.
Bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
Sehat
jasmani dan rohani;
d.
Berpendidikan
sarjan hukum atau sarjana lain sesuai dengan keahlian dan berpengalaman
dibidang hukum minimal 15 tahun;
e.
Berumur
minimal 40 tahun pada saat proses pemilihan hakim;
f.
Tidak
pernah dipidana karena kejahatan;
g.
Jujur,
cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi dan mempunyai reputasi yang
baik;
h.
Tidak
menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i.
Melaporkan
harta kekayaannya;
j.
Bila
terpilih bersedia untuk mengikuti pelatihan sebagai hakim;
k.
Selama
menjadi hakim bersedia untuk melepaskan jabatan struktural dan atau/ jabatan
lain;
Setelah
proses seleksi selesai Presiden berhak untuk mengangkat dan memberhentikan
hakim ad hoc atas rekomendasi dari Mahkamah Agung atau menurut ketentuan
perundang-undangan, misalnya berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang No. 46 Tahun
2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi :
a.
Atas
permintaan sendiri;
b.
Karena
sakit jasmaniatau rohani selama 3 (tiga) bulan berturut-turut sesuai keterangan
dokter;
c.
Terbukti
tidak cakap dalam menjalankan tugas;
d.
Pensiun;
e.
Telah
menyelesaikan masa jabatan sebagai hakim ad hoc;
Implikasi
Keberadaan Hakim Ad Hoc Dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Implikasi
terhadap sistem kekuasaan kehakiman
Sebelum
amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
disahkan pada 10 November 2001 dalam penjelasan umum disebutkan bahwa Indonesia
merupakan Negara berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan
belaka, serta sistem konstitusional tidak bersifat absolutisme (kekuasaan tidak
terbatas). Dengan adanya hukum pada suatu negara akan memberikan dampak
perilaku masyarakat untuk dapat patuh pada aturan-aturan yang dibuat oleh
pemerintah. Aturan-aturan tersebut akan membatasi tingkah laku manusia dalam
bergaul di masyarakat. Dengan adanya aturan tersebut diharapkan masyarakat
dapat hidup lebih harmonis tanpa ada rasa was-was akan adanya gangguan dari
orang lain. Tapi tidak ada manusia maupun aturan hukum yang sempurna di dunia
ini, walaupun pemerintah sudah berusaha membuat aturan hukum dengan sebaik
mungkin tetapi manusia sering melanggar aturan yang telah dibuat oleh
pemerintah. Oleh karena itu banyak terjadi permasalahan dan kekacauan di
lingkungan masyarakat. Untuk menangai permasalahan tersebut pemerintah membuat
suatu lembaga peradilan yang berfungsi untuk memeriksa, mengadili, suatu
perkara yang ditimbulkan oleh masyarakat, instansi-instansi tertentu maupun
pemerintah sendiri.
Lembaga
peradilan yang diharapkan dapat memberikan keadilan pada masyarakat atas
pelanggaran hak-hak mereka tidak luput dari masalah. Dewasa ini lembaga
peradilan menjadi sorotan oleh masyarakat khususnya pada lembaga peradilan
pidana korupsi. Peradilan pidana yang berwenang untuk mengadili perkara pidana
korupsi adalah Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Saat ini
Pengadilana Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) di Indonesia berkedudukan di
Jakarta Pusat. Seiring dengan berjalannya waktu pemerintah mengusahakan untuk
mendirikan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) di setiap daerah
di Indonesia seperti yang sudah ditetapkan pada Pasal 3, 4 dan 35 Undang-Undang
Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidan Korupsi Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155.
Pasal
3 :
“pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/ kota yang
daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan”.
Pasal
4 :
“khusus
untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
pengadilan negeri yang bersangkutan”.
Pasal
35 :
1.
Dengan
Undang-Undang ini untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk
pada setiap pengadilan negeri di Ibukota Provinsi.
2.
Daerah
hukum Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi daerah hukum Provinsi yang bersangkutan.
3.
Khusu
untak Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
4.
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dibentuk
paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pentingnya
keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di lingkungan peradilan umum karena
perkara korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak dijelaskan di dalam KUHP.
Oleh karena itu perlu adanya undang-undang tersendiri yang mengatur dan
menjelaskan permasalahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Korupsi di
Indonesia masih merupakan permasalahan yang sangat serius sampai sekarang ini,
baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Secara kualitas perilaku korupsi
berkembang mulai dari tradisional maupun yang paling canggih tehnologinya.
Sedangkan secara kuantitasnya, korupsi sudah semakin menjalar ke lapisan
masyarakat dan berlangsung di berbagai lembaga negara, baik di tingkat daerah
maupun pusat, termasuk lembaga negara penegak hukum yang seharusnya bertanggung
jawab untuk memberantas korupsi.
Pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi perlu adanya legalitas yang didasarkan pada :
a.
Upaya
mewujudkan hukum dan keadilan bagi para pencari keadilan, sesuai dengan
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa
kekuasaan kehakiman dijalankan sebagai upaya untuk mewujudkan hukum dan
keadilan bagi seluruh rakyat indonesia. Ketentuan demikian menjadi landasan
dasar dalam pembentukan semua pengadilan di Indonesia.
b.
Pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) harus didasarkan pada
prinsip-prinsip dasar system hukum dan peradilan seperti :
1)
Due
process of law, non retroactive, nebis in idem, praduga tak bersalah, dan
prinsip dasar lainnya.
2)
Prinsip
dasar kekuasaan kehakiman yang independen baik yang diatur dalam instrumen
internasional maupun Udang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.
c.
Sebagai
bagian dari sistem hukum, pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat
dibentuk untuk memenuhi kebutuhan adanya kepastian hukum untuk mendukung sistem
hukum lainnya.
d.
Keselarasan
dengan arah dan desain pembaharuan hukum dan peradilan dibawah Mahkamah Agung.
Bila keselarasan tidak ada maka Pendadilan Tindak Pidan Korupsi akan berjalan
diluar sistem sehingga efektifitasnya akan diragukan.
e.
Hasil
kajian yang komprehensif terhadap tingkat kebutuhan-kebutuhan diatas dengan
melibatkan berbagai pihak termasuk Mahkamah Agung dan masyarakat.
Dengan
landasan konstitusi yang kuat maka aspek penting yang berkaitan lainnya adalah
peran hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selain hakum karir di dalam
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdapat hakim ad hoc yang terdiri dari unsur
masyarakat. Keberadaan hakim ad hoc diharapkan mampu membantu hakim karir untuk
memberantas tindak pidana korupsi dikalangan masyarakat dan lembaga instansi
pemerintah.
Oleh
karen itu implikasi hakim ad hoc terhadap kekuasaan kehakiman adalah untuk
memperkuat pern dan fungsi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum di
Indonesi. Dalam hal ini hakim ad hoc merupakan hakim non karir yang mempunyai
keahlian dan kemampuan untuk mengadili suatu perkara korupsi sehingga hakim ad
hoc dapat memberi dapak positif ketika hakim ad hoc bersama hakim karir
menangani perkara korupsi dalam hal ini berbeda ketika tindak pidana korupsi
hanya diadili oleh hakim karir saja.
Implikasi
terhadap sistem pembentukan hukum
Pengaturan
mengenai tindak pidana korupsi sekarang ini masih menjkadi wacana pemerintah
maupun didalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (tambahan Lembaran Negara republik Indonesia No. 4150) sudah
dijelaskan mengenai tindak pidana korupsi namun belum dijelaskan secara
terperinci sedangkan perkembangan tindak pidana korupsi sudah semakin pesat.
Sehingga ketika menjalankan proses pemeriksaan dan memutus perkara korupsi di
persidangan, selain hakim berpedoman pada konstitusi dan undang-undang terkait
dengan tindak pidana korupsi, seorang hakim juga menggunakan pengetahuannya
untuk menafsirkan suatu permasalahan berdasarkan hati nuraninya untuk
menyelesaikan perkara dengan membuat aturan sendiri sehingga dapat diberikan
keputusan yang sungguh-sungguh adil dan sesuai dengan maksud hukum, yakni
mencapai kepastian hukum.
Pada
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman diatur mengenai penjelasan hakim ad hoc, ini
juga menjadi salah satu upaya reformasi konstitusi. Pembentukan hukum mengenai
hakim ad hoc selain sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang
sudah mengakar pada kehidupan masyarakat juga sebagai partisipasi masyarakat
Indonesia dalam sistem peradilan. Upaya pembentukan hukum mengenai hakim ad hoc
pada Kekuasaan Kehakiman juga dijelaskan mengenai sistem perekrutan yang
bersifat terbuka. Di sini selain masyarakat bisa ikut berpartisipasi mengikuti
ujian yang diadakan oleh tim penyeleksi, masyarakat juga bisa ikut mengawasi
jalannya praktek pengujian hakim ad hoc secara transparan. Seperti yang
dijelaskan pada pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 155, yaitu :
“untuk
memilih dan mengusulkan calon hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dan Pengadilan tinggi, ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi
yang terdiri adri unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang dalam menjalankan
tugasnya bersifat mandiri dan transparan”.
Penjelasan
mengenai hakim ad hoc tidak hanya di tulis di dalam pasal 32 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157
saja melainkan juga dimasukan di dalam penjelasan pasal 10 Undang-Undang nomor
46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 155, serta pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, yaitu :
Pasal
23 ayat (1) :
“hakim
ad hoc dapat diangkat pada pengadilan khusus untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman di bidang tertentu
dalam jangka waktu tertentu”.
Pasal
10 :
“dalam
memeriksa., Mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi, pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung tersiri atas hakim
karir dan hakim ad hoc”.
Pasal
56 ayat (1) :
“hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim Pengadilan Negeri dan hakim
ad hoc”.
Pada
sistem peradilan, hakim ad hoc dalam menjalankan perannya sebagai hakim didalam
Pengadilan mempunyai hak dan kewenangan yang sama dengan hakim karir. Dalam
proses pemeriksaan di pengadilan hakim ad hoc diberi hak untuk mengutarakan
pendapatnya dalam pengambilan keputusan. Sehingga hakim ad hoc juga berperan
penting ketika proses pemberian putusan terhadap suatu perkara tertentu di
dalam pengadilan. Dalam proses mengadili suatu perkarakorupsi hakim ad hoc
bersama-sama hakim karir juga mengalami ketidaksinkronan pendapat dalam
pemberian suatu putusan. Hakim ad hoc cenderung menghukum dengan hukuman paling
berat. Hal ini hakim karir yang berbeda pendapatnya dengan hakim ad hoc menulis
dalam dissentting opinion dia mengungkapkan bahwa hakim adalah tangan keadilan,
bukan algojo bagi sekedar nafsu menghukum, tangan keadilan hakim bukan saja
untuk memuaskan khalayak ramai, tau korban tetapi juga keadilan untuk pelaku
dan keluarganya. Ketika hakim ad hoc bersama-sama dengan hakim karir
menjalankan tugasnya untuk memberi putusan atas suatu perkara terjadi perbedaan
pendapat dalam musyawarah hakim yang bersifat tertutup dengan memakai sistem
voting. Maka berdasarkan pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, yaitu :
1.
Putusan
diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
2.
Dalam
sidang permusyawaratan setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari putusan.
3.
Dalam
hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim
yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
4.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Oleh
karena itu implikasi terhadap pembentukan hukum atas keberadaan hakim ad hoc di
dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah hakim ad hoc bersama hakim karir
berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 22 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang
disngkat A.B Staatsblad 1847 No. 23 yang dikeluarkan pada 30 april 1847
diartikan sebagai ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan yang
menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan
alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak
jelas atau tidak lengkap maka ia dapat untuk dituntut dan dihukum karena
menolak untuk mengadili. Berdasarkan ketentuan-ketentuan pasal-pasal ini
apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakai
untuk menyelesaikan perkara, maka hakim ad hoc bersama hakim karir mempunyai hak
untuk membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan perkara tindak pidana
korupsi.
Implikasi
Terhadap Penegakkan Hukum
Kedudukan
hakim dalam proses peradilan mempunyai peran yang sangat penting dimana hakim
ketua bersama anggota majelis lainnya berdasarkan pasal 1 butir 9 KUHAP
mempunyai kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana
berdasarka asa bebas, jujur dan memihak di sidang pengadilan sesuai dengan
cara-cara yang sudah diatur dalam perundang-undangan tidak terkecuali dengan hakim
ad hoc pada pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Proses pemeriksaan
perkara dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) kedudukan hakim karir
dengan hakim ad hoc adalah sejajar yaitu sama-sama mempunyai kewenangan untuk
melakukan tugas-tugasnya sebagai hakim yang membedakan hakim karir dengan hakim
ad hoc. Hakim karir pengadilan tindak pidana korupsi harus berpendidikan
sarjana hukum, pengalaman menjadi hakim minimal 10 tahun dan diangkat serta
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung sedangkan hakim ad hoc berdasarkan
keahlian tertentu untuk mengadili suatu perkara korupsi. Untuk dapat menjadi
hakim ad hoc tidak harus berpendidikan sarjana hukum melainkan boleh
berpendidikan sarjana lainnya dan berpengalaman dibidang hukum selama minimal
15 tahun.
Berdasarkan
Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 155) bahwa penentuan jumlah dan komposisi majelis
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan masing-masing atau ketua Mahkamah Agung sesuai
dengan tingkatan kepentingan pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. Ini
tidak mentup kemungkinan bahwa hakim ad hoc bisa menjadi hakim ketua dalam
proses persidangan. Akan tetapi melihat bahwa yang menetapkan jumlah dan
komposisi hakim dalam mengadili perkara korupsi pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi (TIPIKOR) adala hakim ketua yang tidak lain sebagai hakim karir maka
akan ada kecenderungan bahwa pengangkatan seorang hakim ketua berasal dari
hakim karir sehingga mengakibatkan adanya diskriminasi dikalangan hakim pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Ketika
hakim ad hoc terbentuk pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) timbul
wacana mengenai peran hakim ad hoc. Dimana nama hakim ad hoc diangkat
berdasarkan keahlian yang dianggap ilmu dan pengetahuannya sama dengan alat
bukti yang berupa keterangan ahli. Alat bukti berupa keterangan ahli merupakan
salah satu alat bukti yang sah di pengadilan (pasal 184 KUHAP). Akan tetapi kekuatan
pembuktiannya bebas sehingga hakim di pengadilan tidak terikat denga alat bukti
keterangan ahli. Sehingga bahwa alat bukti berupa keterangan ahli berbeda
dengan hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi karena kedudukan dari
alat bukti berupa keterangan saksi ahli didalam pengadilan hanya sebatas
memberikan penjelasan berdasarkan pengetahuan atau keahlian di bidang tertentu
sesuai dengan perkara yang sedang diperiksa. Sedangkan hakim ad hoc pada
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) selain memiliki keahlian tertentu
dia juga memiliki kewenangan bersama-sama dengan hakim karir untuk memeriksa
dan memberi putusan atas kasus yang sedang mereka tangani. Untuk menguatktan
posisi hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam mendapatkan keadilan
dimana hakim dalam pengadilan terdiri dari unsur masyarakat dan hakim yang
diangkat oleh Mahkamah Agung diperlukan adanya sumpah atau janji yang
hubungannya langsung dengan tuhan. Hakim sebagai pejabat negara harus disumpah
dahulu sebelum menjalankan kewenangannya. Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 46 Tahun 2009 dijelaskan mengenai sumpah jabatan.
Untuk
menjadi hakim ad hoc tidak hanya cukup dengan bersumpah dihadapan Tuhan
melainkan juga harus mau mengikuti pelatihan-pelatihan agar hakim ad hoc
memiliki kecakapan dama mengadili suatu perkara korupsi. Menurut Igm. Nurdjana
bahwa hakim dalam Pengadilan tindak pidana korupsi wajib menerapkan prinsip
Fairness yaitu dengan menunjukkan proses pengadilan yang transparan dan terbuka
untuk umum, dan putusannya dilakukan pada sidang terbuka untuk umum. Begitu
pula pada penerapan hak ingkar yaitu hak untuk mengajukan keberatan terhadap
hakim yang mengadili perkara tersebut. Serta hak-hak tersangak atau terdakwa
untuk didampingi oleh penasehat hukum kemudian hakim wajib memeriksa dan
memutus perkara dengan hadirnya terdakwa, atau kecuali pengadilan tersebut
dinyatakan sebagai pengadilan in absentia. Berdasarkan Pasl 41 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Neagar
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 4150) menjelaskan keikutsertaan masyarakat
dalam upaya penegakkan hhukum terhadap tindak pidana korupsi. Oleh karena itu
dengan adanya keikutsertaan masyarakat memberikan peran sosila terhadap
penegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi, bahkan dalam jangkauan lebih
luas akan menciptakan good government.
Salah
satu contoh perkara yang diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi sebagai bentuk upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah perkara
Anggodo. Anggodo diperiksa atas dakwaan penyuapan kepada pimpinan Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang bertujuan untuk
menghalang-halangi penyelidikan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 mengenai Pengadilan Tindak
pidana Korupsi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155 bahwa
proses peradilan Anggodo Widjojo dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang berkedudukan di Jakarta Pusat yang dipimpin oleh Tiga (3) orang
hakim yang terdiri dari hakim ad hoc dan hakim karir. Di sini hakim karir dan
hakim ad hoc bekerja sama dan saling membantu untuk proses perkara Anggodo.
Berdasarkan pemeriksaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diputuskan bahwa
majelis kemudian sepakat memvonis Anggodo dengan Hukuman empat (4) tahun
penjara. Dan Anggodo juga diharuskan membayar denda Rp. 150.000.000,00 jika
tidak dibayar maka hukumannya ditambah tiga bulan penjara. Berdasarkan putusan
hakim diatas masyarakat merasa tidak puas dikarenakan hukuman penjara yang
dijatuhkan kepada Anggodo Widjojo masih sangat ringan dan tidak sebanding
dengan perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh Anggodo Widjojo yang
merugikan negara. Ketika Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Belum terbentuk, kasus-kasus
mengenai korupsi masih banyak yang diputus bebas, setidaknya dengan keberadaan
hakim ad hoc membantu penegakkan hukum di Indonesia untuk mendapatkan suatu
keadilan.
Berdasarkan
penjelasan diatas maka etika dan implikasi penegakkan hukum terhadap lahirnya
hakim ad hoc adalah dengan adanya hakim ad hoc maka penegakkan hukum terhadap
tindak pidana korupsi semakin menemukan titik terang karena tindak pidana
korupsi merupaka salah satu tindak pidana yang bersifat Khusus (extra ordinary
crime) sehingga dalam mengadili tindak pidana korupsi memerlukan adanya suatu
pengadilan khusus pula dimana ketika memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara korupsi terdapa dua unsur hakim yaitu hakim karir dan hakim ad hoc.
Sehingga dengan adanya hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akam
memberi dampak positif dalam rangka mewujudkan keadilan bagi masyarakat
indonesia